Bismillah...Everything comes from an impossible thing, show up your dream..!!!

Menjadi orang biasa merupakan tantangan yang harus dilewati...

Selasa, 15 Maret 2011

"BERMASALAH...."

Selama manusia menjadi manusia maka selama itu pasti ada ujian kehidupan. Dan selama ujian masih berlanjut selama itu pula selalu ada masalah. Tidak ada satupun manusia yang hidup tanpa  masalah.  Karenanya Rasulullah SAW menegaskan lekatnya masalah pada manusia: ”Manusia tempatnya salah dan lupa” atau ”Tiap anak Adam pasti salah dan sebaik-baik orang salah adalah mereka yang bertaubat”.
Tidak hanya Rasulullah SAW bahkan ALLAH SWT menegaskan dalam hadits qudsi-Nya: ”Jika kalian tidak melakukan dosa maka akan Aku binasakan kalian hingga Aku ciptakan manusia lain, mereka berbuat dosa dan kemudian bertaubat”. Bahkan Al Qur’an membahasakan bahwa orang bertaqwa sekalipun bisa mengerjakan fahisyah atau dosa besar. Taubatlah yang membuat mereka tetap pada posisi mulianya.

Betapa Al Qur’an dan As Sunnah mendorong umat ini untuk terus-menerus menghias diri dengan perilaku mulia dan menghindar dari perilaku tercela. Pencerahan Islam terhadap fitrah manusia bersambut dengan nilai, nyaris sempurna pada generasi pertama.

Sulit dibayangkan rasanya ketika mendengar ”rakus” mereka terhadap pahala dan benci mereka kepada dosa. Karena yang sunnah sudah terasa tak lagi dijumpa sebagian mereka melakukan nadzar karena memperturutkan hobinya terhadap pahala.

Pergaulan yang begitu kuat dengan orang-orang sholih membuat nilai kesholihan terpatri begitu kokoh dalam prilaku. Terkadang kisah salaf dengan kesholihahn yang sulit terbahasakan, menghapus sebagian memori orang, bahwa manusia juga bermasalah. Sungguh Anas bin Malik terkaget-kaget ketika melihat perilaku para tabi’in: ”Sesungguhnya perbuatan dosa yang kalian anggap sepele pada hari ini, ia merupakan dosa besar bagi kami dahulu”. Begitulah Anas bin Malik mensikapi dosa sepele terkesan berlebihan, karena memang beliau tidak menemukan pensikapan seperti itu sebelumnya. Wajar kiranya kalau sahabat sangat terperanjat ketika ada seorang wanita di tengah mereka mengaku melakukan zina. Ketika eksekusi hukum rajam dilakukan oleh Rasulullah, ada sahabat yang tidak mampu menahan emosinya.
Luapan amarahnya diungkapkan dengan lemparan batu besar hingga sang wanita tadi berlumuran darah segar. Namun Rasulullah SAW mengingatkannya: ”Ketahuilah andai taubat wanita ini diberikan kepada banyak orang maka sungguh ia akan mencukupi”.

Semangat keislaman yang berlebihan sering membuat orang mengalami puber da’wah. Namun terkadang kepuberan tersebut tak kunjung usai menemui masa dewasanya. Memahami doktrin nilai tentang kesholihan dan keasyikannya yang mendalam membuat seseorang seakan tak percaya andai aktivis berbuat masalah.
Kekecewaan sering menjadi kawan akrab dalam pelariannya. Dia lupa bahwa dirinyapun terkadang berbuat dengan perilaku yang lebih dari apa yang dikecewakannya. Atau bisa jadi ada sebagian kader yang memandang kesalahan sekecil apapun adalah masalah.

Tidak hadir liqo masalah, tidak bayar infaq masalah. Tidak mau mengikuti putusan murobbi masalah, tidak memenuhi tuntutan kerja sesuai kriteria penanggung jawab acara masalah. Secara kasat mata perilaku tadi memang seakan potensial mengandung masalah. Akan tetapi ketika didalami bisa jadi tidak ada satu masalah pun yang dijumpai dari perilaku di atas. Karena saking ”militannya” hal-hal yang tidak bermasalah bisa dianggap bermasalah. Bukankah menjadi pegawai negeri di masa ta’sis juga dianggap masalah?
Namun yang disayangkan bingkai nilai bermasalah atau tidak bermasalah terkadang adalah selera bukan syari’ah. Andai ini terjadi fatal akibatnya. Bisa jadi orang yang benar secara syariah menjadi bermasalah dan orang yang salah secara syariah menjadi benar adanya.

Memandang setiap persoalan dengan cara pandang bermasalah adalah tanda kekerdilan. Kehidupan berjama’ah yang seharusnya mampu menghadirkan keindahan, kesejukan, kedamaian dan kenikmatan justru akan sirna. Tanpa sadar muncul kesimpulan bahwa mayoritas penduduk jama’ah adalah orang-orang “bermasalah”.

Wabah kalimat bermasalah akan menjangkiti hampir semua orang yang ada di dalamnya. Mana mungkin hidup berjamaah akan membuat orang betah berlama-lama di bawah kerindangannya kalau di balik kerindangan ada “kegersangan”. Bukankah tiap orang memiliki keinginan kuat untuk keluar dari masalah? Berjamaah yang nikmat kini berubah menjadi niqmat (siksaan). Kalau berjamaah yang aslinya solusi, kini berubah jadi masalah pastilah orang di dalamnya ingin segera lari. Kalau kader dianggap dominan ”bermasalah”, kader yang harus membenahi maasyarakat atau masyarakat yang harus membenahi kader?
Bermasalah memang bagi badui buang air kecil di dalam masjid. Namun ketidak tahuanlah yang membuatnya melakukan hal tersebut. Badui butuh kasih sayang dan taujih atas kesalahannya.

Sungguh luapan emosi kepada orang yang tidak berilmu bukan solusi. Karenanya ketika para sahabat terbakar emosinya melihat si badui yang telah dianggap sangat bermasalah, Rasulullah SAW segera mencegahnya. Menyelesaikan masalah tanpa masalah begitulah seharusnya target seorang da’i dalam kerjanya. Bermasalah besar memang buang air kecil di dalam masjid, akan tetapi ketika masalah besar tidak dibesar-besarkan maka dia akan mengecil bahkan hilang dan berganti dengan kebaikan. Najis bisa ditanggulangi, sahabat tidak mendapat dosa karena ledakan emosi, badui mendapat ilmu dan Rasulullah SAW mendapat hadiah do’a dari si badui. Ah, alangkah cerdas dan bijaknya sang qudwah hasanah dalam menyelesaikan masalah.
Semangat ketika menghadapi masalah seharusnya adalah semangat menyelesaikan masalah itu sendiri, bukan memerangi pelakunya. Karena orang yang diserang cenderung membela diri dan mempertahankannya.
Andaikan dirinya terpaksa terpojok dan bisa dipermalukan, ketahuilah luapan banjir masalah akan semakin besar dan akan meluap ke mana-mana. Ini menyelesaikan masalah dengan banjir masalah namanya, atau menghilangkan pening dengan penggal kepala. Andai kesalahannya benar dan jelas saja, adalah petaka jika diseelsaikan dengan cara seperti ini.

Memandang banyak orang bermasalah dan hanya diirnya saja yang benar, sesungguhnya orang ini bermasalah. Cara pandang seperti ini merupakan penyakit kronik yang akan menimbulkan bencana.Semangat yang ada bukan semangat menyelesaikan, akan tetapi semangat mencari kepuasan dengan memojokkan dan mempermalukan. ”Semangat” yang berlebihan membuat seseorang ketika melihat, langsung menyimpulkan, meyakini dan menyebarkan permasalahan yang belum tentu benar adanya. Bahkan berbohong dalam argumentasi bisa jadi dilakukan asalkan kepuasan diri tertunaikan. Keyakinannya yang begitu kuat akan masalah dan perasaan menemukan tambang amunisi untuk memojokkan, membuat banyak orang  begitu yakin dengan argumentasinya. Sangat disayangkan andai pendengar setia tidak pandai melakukan tabayyun atas kebenaran berita. Malah seakan ingin menyempurnakan kisah dongeng bermasalah para jamaah, dengan menutup dongeng tersebut dengan ucapan Amin bersama-sama. Lengkaplah derita orang yang dianggap bermasalah.

Alangkah bijak jika si penemu masalah ketika menemukan masalah sesungguhnya, tidak disebarkan kepada banyak orang. Aib bukanlah konsumsi publik yang harus menjadi bahan diskusi berkepanjangan tanpa solusi.
Bukankah Rasulullah SAW menggembirakan kita dengan ungkapannya? ”Barang siapa yang menyembunyikan aib saudaranya di dunia maka Allah akan menyembunyikan aibnya di akhirat”. Lupakah kita bahwa manhaj da’wah ini telah menggarisbawahi solusi terhadapa masalah dengan suasana cinta?

Lihatlah ungkapan Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam mengatasi aib:
”Bagi pemberi nasihat, berhati-hatilah, jangan sampai hatimu berubah niat, meski hanya sehelai rambut. Jangan sampai ia merasakan adanya kekurangan pada orang yang dinasehati dan menganggap dirinya lebih utama. Kalau ia merasa tidak mampu, biarkanlah selama lebih kurang sebulan. Jangan ceritakan aib itu kecuali kepada naqib atau murobbi. Setelah itu tetaplah dalam keadaan mencintai dan  menghargainya sehingga ALLAH mentepakan keputusan-Nya”.
Layakkah di dalam majelis mulia halaqoh dan usroh yang dibahas di dalamnya akhlaqul karimah, bertebaran virus ”bermasalah”? Pantaskah dalam sebuah komunitas orang-orang mulia bertebaran kalimat pembawa prahara?

Kalimat yang seharusnya kita enyahkan jauh-jauh kenapa terkadang begitu lekat dalam fikiran dan sering lepas dari lisan. Daya hunjam virus bermasalah akan semakin dalam ketika dia keluar dari busur lisan para pembesar. Memang benar mengucap kalimat bermasalah ringan tanpa beban, akan tetapi tekanannya berat dan menenggelamkan. Haruskah korban yang berjatuhan karena kalimat bermasalah terus bertambah?
Dan yang sungguh sangat disayangkan korbannya adalah orang-orang justru kita harapkan  mampu menyelesaikan masalah keumatan. Na’udzu billah.
Ayyuhal ikhwah, hendaklah kalian berkata baik atau diam....!
Dikeluarkan Oleh:
Deputi Kaderisasi
Bidang Pembinaan Kader
DPW PKS DKI Jakarta

Selasa, 12 Oktober 2010

Akhwat Itu...???

AKHWAT SEJATI…Akhwat sejati bukanlah dilihat dari wajahnya yang manis dan menawan, tetapi dari kasih sayangnya pada karib kerabat dan orang disekitarnya. Pantang baginya mengumbar aurat, dan memamerkannya kepada siapapun, kecuali pada mahramnya. Dia senantiasa menguatkan iltizam dan azzam-nya dalam ber-ghadul bashar dan menjaga kemuliaan diri, keluarga serta agamanya.
 
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lembut dan mempesona, tetapi dari lembut dan tegasnya tutur dalam mengatakan kebenaran. Dia yang senantiasa menjaga lisan dari ghibah dan namimah. Pantang baginya membuka aib saudaranya. Dia yang memahami dan merasakan betul bahwa Allah swt senantiasa mengawasi segala tindak-tanduknya.

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari liuk gemulainya kala ia berjalan, tetapi dari sikap bijaknya memahami keadaan dan persoalan-persoalan. Dia yang senantiasa bersikap tulus dalam membina persahabatan dengan siapapun, dimanapun dirinya berada. Tak ada perbendaharaan kata “cemburu buta” dalam kamus kehidupannya. Dia senantiasa merasa cukup dengan apa yang Allah swt anugerahkan untuknya, juga atas nafkah yang diberikan sang suami kepadanya. Tak pernah menuntut apa-apa yang tidak ada kemampuan pada sang qowwam di tengah keluarga. Sabar adalah aura yang terpancar dari wajahnya. Sifat tawadhu’ adalah pakaian yang senantiasa dia pakai sepanjang perguliran zaman.

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia menghormati dan menyayangi orang-orang ditempat kerja (wajihah dakwah), tetapi dari tatacaranya menghormati dan menyayangi siapapun dan dimanapun tanpa memandang status yang disandangnya. Dia yang dilihat menyejukkan mata dan meredupkan api amarah. Baitii jannatii selalu berusaha ia ciptakan dalam alur kehidupan rumah tangga. Totalitas dalam menyokong dakwah suami dan berdarmabakti mengurus generasi penerus yang berjiwa Rabbani.

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari banyaknya ikhwan yang memuji dan menaruh hati padanya, tetapi dilihat dari kesungguhannya dalam berbakti dan mencintai Allah dan Rasulullah. Dia yang selalu menghindari sesuatu yang syubhat terlebih hal-hal yang diharamkan-Nya.

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari pandainya dia merayu dan banyaknya airmata yang menitik, tetapi dari ketabahannya menghadapi liku-liku kehidupan. Pancaran kasih sayang melesat tajam dari tiap nada bicara yang keluar dari bibirnya. Dia yang memiliki perasaan yang tajam untuk selalu berbuat ihsan kala ditempat umum maupun kala sendiri.

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari merdunya suara kala bertilawah Qur’an dan banyaknya hadits yang ia hafal, tetapi dari keteguhan dan konsistennya mengamalkan kandungan keduanya. Dia selalu berusaha mengajarkan pada yang belum memahaminya. Al-Qur’an dan As-Sunnah dijadikannya sebagai suluh penerang serta pijakan dalam menelusuri lorong-lorong gelap kehidupan.

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari tingginya gelar yang disandangnya serta luasnya wawasan ataupun lincahnya ia bergerak, tetapi tingginya ghirah untuk menuntut ilmu dan mengamalkan syariat secara murni dan berkesinambungan. Ilmu yang bermanfaat adalah tongkat yang ia pegang.
Menjadi akhwat sejati,
niscaya akan membuat iri dan cemburu para bidadari,
menjadi dambaan bagi mereka para insan berjiwa Rabbani,
menjadi dambaan bagi mereka para pemilik ruh dakwah dan jihadiyah,
serta para hamba Allah yang tidak tertipu oleh gemerlapnya dunia yang semu…….
Menjadi Akhwat sejati,
Seperti yang dicontohkan oleh khadijah, Aisyah, Hafsah, Maimunah, Shafiyah, Fathimah Az Zahra, dan para shahabiyah radiyallohu’anha ajma’in.
# Dikutip dari Buku : “Surat Cinta Untuk Sang Aktivis” – Musafir Hayat # (dalam: http://ukimedia.wordpress.com/)